Hakikat Ruh Nabi Muhammad dan Orang-orang Mukmin
Orang-orang kafir Mekah pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang masalah ruh. Saat itu, turun wahyu yang menyatakan bahwa ruh adalah urusan Allah. Meski demikian, manusia tetap diberi pengetahuan tentangnya, hanya saja kadarnya sedikit. Hal ini diungkapkan dalam Al-Quran:
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِۗ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu bagian dari urusan Tuhanku, sedangkan kalian tidak diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit.'” (QS. Al-Isra [17]: 85).
Berdasarkan ayat di atas, manusia tetap diberi pengetahuan tentang ruh, meskipun hanya sedikit. Dari informasi yang sedikit ini, kita dapat memperdalam pengetahuan tentang ruh, sehingga dapat memperkuat keimanan kepada Dzat yang menciptakannya. Termasuk di dalamnya adalah ruh manusia paling mulia, Nabi Muhammad saw., yang disebut sebagai ruh cahaya yang pertama kali diciptakan dan menjadi asal mula terciptanya ruh-ruh lainnya.
Syekh al-Barzanji menyebutkan:
أصلي وأسلم على النور الموصوف بالتقدم والأوليه
Artinya: “Aku mengucapkan shalawat dan salam untuk cahaya yang bersifat terdahulu dan awal.” (Lihat As-Sayyid Ja’far Al-Barzanji, Qashidah Al-Barzanji pada Hamisy Madarijus Shu’ud ila Iktisa’il Burud, [Surabaya: Syirkah Ahmad bin Sa‘ad bin Nabhan wa Auladuh: tanpa tahun], halaman 4).
Allah menciptakan ruh Nabi Muhammad dari pancaran cahaya keindahan-Nya. Dalam hadits qudsi, disebutkan, “Aku menciptakan Muhammad pertama kali dari cahaya wajah-Ku.”
Rasulullah saw. juga menyebutkan dalam haditsnya:
أول ما خلق الله روحي وأول ما خلق الله نوري، وأول ما خلق الله القلم وأول ما خلق الله العقل
Artinya: “Yang pertama kali diciptakan Allah adalah ruhku, cahayaku, qalam, dan akal,” (HR. Abu Dawud). Syekh Abdul Qadir menafsirkan bahwa ruh, cahaya, pena, dan akal adalah satu entitas tunggal, yakni hakikat Muhammad saw.
Hakikat ini disebut “cahaya” karena bersih dari kegelapan yang menghalangi keagungan Ilahi, dan disebut “akal” karena kemampuannya memahami segala sesuatu. Ia juga disebut “qalam” karena berfungsi sebagai media transfer ilmu.
Ruh Muhammad adalah saripati semesta alam, asal mula semua makhluk, termasuk asal mula orang-orang mukmin, sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah SAW:
أَنَا مِنَ اللهِ وَالْمُؤْمِنُوْنَ مِنِّي
Artinya: “Aku berasal dari Allah, sedangkan orang-orang mukmin berasal dariku,” (HR. Ad-Dailami).
Dari ruh Muhammad ini, Allah menciptakan semua ruh di alam lahut dalam bentuk terbaik. Setelah ruh Muhammad berusia 4000 tahun, Allah menciptakan Arasy dari cahaya Muhammad saw. Semua ruh kemudian dikembalikan ke tingkatan jasad manusia, seperti yang dinyatakan dalam Al-Quran:
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِيْنَ
Artinya: “Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang paling rendah,” (QS. At-Tin [95]: 6). (Lihat: Syekh Abdul Qadir, Sirrul Asrar, [Damaskus: Maktabah al-Jailani, 1993], halaman 45).
Allah menurunkan ruh dari alam lahut ke alam jabarut, mengenakannya dengan pakaian cahaya yang disebut “ruh sultani”, lalu menurunkannya ke alam malakut dengan pakaian “ruh ruwani”. Kemudian, ruh diturunkan ke alam mulki dan diberi pakaian “ruh jismani”.
Allah menciptakan jasad dan memerintahkan ruh untuk bersujud kepada-Nya, seperti yang diisyaratkan dalam Al-Quran:
فَاِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَهُ سٰجِدِيْنَ
Artinya: “Maka, apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)-nya dan meniupkan ruh-Ku ke dalamnya, menyungkurlah kamu kepadanya dengan bersujud,” (QS. Al-Hijr [15]: 29).
Namun, setelah ruh-ruh ini bersemayam dalam jasad, mereka lupa akan perjanjian dengan Allah di alam lahut. Allah berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِيٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۚ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَاۗ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi,'” (QS. Al-A’raf [7]: 172).
Karena sifat lupa ini, manusia tidak bisa kembali ke negeri asalnya. Namun, dengan sifat rahman dan rahim-Nya, Allah menurunkan para nabi dan rasul untuk mengingatkan manusia.
Nabi Muhammad saw. diutus untuk membawa umat manusia kembali ke negeri asalnya, seperti firman Allah:
قُلْ هٰذِهِ سَبِيْلِيْٓ اَدْعُوْٓا اِلَى اللّٰهِۗ عَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَا۠ وَمَنِ اتَّبَعَنِيْۗ
Artinya, “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (seluruh manusia) kepada Allah dengan bukti yang nyata,'” (QS. Yusuf [12]: 108). (Lihat: Syekh Abdul Qadir, Sirrul Asrar, [Damaskus: Maktabah al-Jailani, 1993], halaman 46).
Rahmat dan salam semoga tetap terlimpah kepada Baginda Alam, Nabi Muhammad saw., yang diutus untuk mengingatkan umatnya agar kembali kepada Tuhannya dengan benar. Wallahu a’lam.
Penulis: Ustadz M. Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Sumber: NU Online