Pesantren Al-Hamid Cilangkap, Berdiri atas Cita-Cita dan Doa Gus Miek
SERAMBINUSANTARA.com, Jakarta – Pesantren Al Hamid ditunjuk menjadi tuan rumah pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama 2023, 18-20 September. Pesantren yang berdiri megah di Kampung Munjul, Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, diilhami cita-cita dan doa KH Chamim Jazuli (Gus Miek), sosok ulama linuwih asal Ploso, Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Pengasuh Pesantren Al Hamid KH Lukman Hakim Hamid mengatakan bahwa berdirinya pesantren yang ia pimpin ini merupakan cikal-bakal dialog antara guru-murid atau kiai-santri, yakni antara sang ayah H Hamid Djiman dengan Pengasuh Pesantren Al-Falah Ploso, Mojo, Kediri KH Chamim Jazuli (Gus Miek).
“Kebetulan saya dan adik-adik saya mondok di sana (Pesantren Ploso). Bapak saya sering berkumpul dengan Gus Miek. Nah, di akhir masa beliau, sekira tiga atau empat bulan jelang wafat, pertemuan terakhir di Surabaya. Saat itu, ayah saya tanya, ‘Kiai, apa keinginan kiai yang belum tercapai?’,” ujarnya menirukan cerita sang bapak.
Karena Gus Miek sangat halus perasaannya, tidak langsung menjawab secara lugas. Setelah tiga kali ditanya, baru menjawab bahwa beliau ingin memiliki pesantren. “Saya ingin punya pondok pesantren. Lalu, ayah saya menjawab, ‘Bagaimana kalau saya yang mewujudkan?’ Gus Miek langsung berdoa seraya mengangkat tangan,” ungkap Kiai Lukman.
Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1995 terjadi peletakan batu pertama pesantren. Wakil Presiden Tri Sutrisno saat itu yang melakukannya sebagai tanda dimulai pembangunan pesantren. Saat itu belum ada namanya. Lalu, H Hamid Djiman berangkat ke Ploso untuk tanya kepada Kiai Munif Jazuli.
“Kiai, ini pesantren akan dimulai pembangunannya. Tapi belum ada namanya. Akhirnya, tak lama kemudian ayah saya dipanggil setelah sempat disuruh keluar sebentar. Pesantren ini namanya Al-Hamid. Jadi, penggagasnya Gus Miek. Sementara pemberi namanya Gus Munif, adik kandung Gus Miek,” ungkapnya.
Kemudian, pada 2002 pembangunan pesantren dimulai secara mandiri oleh H Hamid Djiman. Menurut Kiai Lukman, sang ayah merupakan warga asli Betawi Cilangkap, Jakarta Timur. “Rumah beliau paling berjarak 1 kilometer dari pesantren putra ini. Tepatnya di depan asrama pondok putri,” tuturnya.
Tanah ini dibeli ayah pada 1992 atau 1993. Dulunya, luas tanah Pesantren Al-Hamid sekira 15 hektar. Namun, oleh Kiai Munif tidak diizinkan terlalu luas. Akhinya tinggal 5 hektar.
Pencinta Ulama
Dalam bincang santai di pesantren putra itu, Kiai Lukman juga bercerita tentang sosok sang ayah, H Hamid Djiman. Beliau tercatat pernah mondok di Kampung Kadumernah, Kelurahan Sukaratu, Kecamatan Majasari, Kabupaten Pandeglang, Banten, di bawah asuhan KH Ahmad Busyro. Namun sayang, mondoknya tidak sampai tuntas.
“Meski demikian, ayah saya itu merupakan sosok muhibbin (pencinta) ulama, habaib, dan masyayikh. Hidupnya hanya untuk sowan beliau-beliau itu,” kata Kiai Lukman.
Sang ayah kemudian banyak mengembangkan bisnisnya. Antara lain properti, cetak batako, dan material, serta bisnis kontrakan sebagaimana orang-orang Betawi lainnya. Oleh karena itu, sang ayah pernah berkata kepada Kiai Lukman dan adik-adiknya agar mereka mondok yang serius. Keseriusan itu salah satunya tidak sering pulang ke rumah seperti pernah terjadi pada sang ayah.
“Makanya saya dan adik-adik dipondokin di Jawa Timur semua. Awalnya saya mengenyam pendidikan pesantren di Pesantren Tebuireng, Cukir, Jombang. Saya mondok di pesantren yang didirikan Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy’ari ini selama tiga tahun,” ujar Kiai Lukman.
“Saya mondok di Tebuireng saat dipimpin KH Yusuf Hasyim alias Pak Ud. Mulai tahun 1986 hingga 1989 sebelum akhirnya saya pindah ke Pesantren Ploso Kediri,” sambungnya.
Kiai Lukman juga merupakan menantu dari keluarga Pesantren Al-Falah Ploso, Kediri, Jawa Timur. Ia menikah dengan seorang putri dari KH Munif Djazuli, adik dari Gus Miek, yang notabene merupakan guru dari orang tuanya.
Editor: Ahmad Fahir
Sumber: NU Online