Kiai Chalwani Nawawi Ungkap Tiga Pedoman Santri
SERAMBINUSANTARA.com – Pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi, Berjan, Purworejo, Jawa Tengah, KH Achmad Chalwani Nawawi mengungkapkan tiga pedoman menjadi santri, yaitu guru yang bertanggungjawab, kitab yang sehat dan akal yang tinggi. Ketiganya ia sitir dari tausiyah KH Mahrus Ali Lirboyo yang menjadi keputusan Halaqah Pemahaman Kitab Kuning secara Kontekstual di Muktamar Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) di Watucongol, Muntilan, Magelang, pada 2005 silam.
“Mbah Mahrus berkata “Laa buda li-thaalibil ‘ilmi min an-yakuuna lahu syaikhun fattaah, wa kutubun shihhaah, wa aqlun raajah,” ungkap Kiai Chalwani dalam Haflah Khataman Akhirus Sanah ke-42 Pondok Pesantren An-Nawawi, Berjan, Purworejo, Tahun 2021 M/1442 H, Sabtu (3/7) malam di komplek pesantren setempat.
Dijelaskan, wajib bagi para santri akan tiga hal. Pertama, syaikhun fattah, yaitu guru yang bertanggungjawab, yang bisa membuka hati murid.
“Para kiai dan para ulama di pesantren, sebelum mengajarkan ilmunya kepada para santri, di hati sudah dipasang: ‘anal qaari’ Allaahul haadi; saya sebatas membacakan, mengajarkan, Allah lah yang memberi petunjuk’. Jangan mentang-mentang menjadi guru merasa ngasih petunjuk. Orang kalau mengajarkan ilmunya dengan ikhlas, dengan tawadlu’, ilmu masuk ke hati,” jelasnya.
Lebih lanjut, kiai kelahiran 19 Desember 1954 tersebut mengungkapkan bahwa al-Adab fauqal jami’, adab di atas segala-galanya. Kalau masalah punya ilmu, katanya, yang namanya iblis pun ilmunya di atas malaikat.
“Dalam kitab tafsir dikatakan: ‘wakaana iblisu min aksaril malaaikati, ilman wa ‘amalan’. Iblis itu ilmu dan amalanya di atas para malaikat. Cuma satu, enggak punya adab, enggak punya tata krama, takabur di depan Allah. Diperintah untuk sujud kepada Nabi Adam, iblis enggak mau dengan alasan, ‘Kan saya tercipta dari api, kenapa harus bersujud kepada yang dicipta dari tanah?'” terangnya.
Akhirnya, Iblis yang alim, pernah menjadi penasihat malaikat dan penghuni surga ribuan tahun itu menjadi penghuni neraka karena takabur, bukan karena bodoh. “Kalau kamu di pesantren, pak kiai itu tiap malam mendoakan para santri. Kalau pak kiai berziarah ke makam-makam para wali, nggak pernah lupa mendoakan para santri,” ungkap Wakil Rais NU Jateng ini, menjelaskan syaikhun fattaah.
Kedua, kutubun shihhah, kitab-kitab yang sehat. Di pesantren, para santri diajarkan dengan kitab-kitab yang sehat. Sebagai contoh, kata Kiai Chalwani, adalah Kitab Jurumiyah. Dikisahkan, ketika Syekh Shonhaji selesai menyusun Jurumiyah, kitab itu dibawa ke pantai dan dibuang ke laut. Sambil membuang kitab, Syekh Shonhaji mengatakan, “Kalau kitab ini bermanfaat, walaupun aku buang ke laut, nanti akan kembali di kamarku.”
Ketika Syekh Shonhaji pulang ke rumah, kitab yang dibuang di laut itu sudah ada di atas meja kamarnya. “Kitab (Syekh Shonhaji) dibuang, balik sendiri. Sementara kitab kita semua tidak usah menunggu dibuang pada hilang sendiri-sendiri, karena tidak pernah dibaca, sukanya main WA dan share loc,” seloroh kiai yang gemar melantunkan shalawat ini, diikuti riuh tawa hadirin.
Ketiga, aqlun raajah, punya ketinggian akal, gagasan, kreasi dan inovasi. Jika belum paham, maka mesti berusaha bagaimana caranya supaya paham. Kalau belum hafal, mesti berusaha bagaimana caranya supaya hafal.
“Tolong, para santri, kamu di pesantren enggak usah mikir apa-apa, kecuali ngaji, sekolah, jamaah, sudah. Allah yang akan menata kamu. Tugas kamu ditata oleh Allah, bukan menata. Maka Allah SWT berfirman A-antum takhluquunahu am nahnul khaaliqqun (QS. Al-Waqi’ah: 59). Allah SWT berfirman Aantum tazra’uunahu am nahnuz zaari’uun (QS. Al-Waqi’ah: 64). Tugas kita ditata, Allah lah yang menata,” tutur Kiai Chalwani, mengutip kitab petunjuk umat manusia.
Tugas para santri, menurut Pendiri STAI An-Nawawi dan anggota DPD RI 2004-2009 ini, adalah mensyukuri nikmat dengan mengaji. “Senyampang kamu masih muda, ngaji yang serius. Al-Ghazali dalam Kitab Ihya juz awal, di Baabul Ilmi, menyitir sabda Nabi Muhammad SAW ‘Wamaa uutiyal ‘aalimu ‘ilman, illa wahuwa syaabbun’. Tidaklah seseorang ini dikaruniai ilmu oleh Allah, kecuali selagi masih muda. Ilmu secara utuh, oleh Allah, dimasukkan ke anak-anak muda. Nabi yang bersabda,” terangnya.
Tamatan Lirboyo tahun 1976 ini menjelaskan, sebelum ada transfer ilmu, mengajarkan ilmu kepada para santri, ada proses tazkiyyah, yaitu membersihkan hati terlebih dahulu. Doanya adalah Yaa Fattaahu Yaa ‘Aliim, bukan dibalik Yaa ‘Aliimu Yaa Fattaahu. Proses tazkiyyah ini pun macam-macam, antara lain ikut mujahadah, ikut wirid, ikut baca shalawat, ikut manaqib, termasuk ro’an (kerja bakti) di rumah kiai.
Dikatakan, rangkaian acara ini dimulai Khataman Al-Quran bin Nadhor pada Jumat (2/7), dilanjutkan Khataman Kitab Madin pada Sabtu (3/7) dan terakhir adalah puncak acara yang sedang digelar. Puncak acara ini menghadirkan KH Melvien Zainul Asyiqien, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mahrusiyah Lirboyo untuk memberi mauidlah chasanah kepada 3000 lebih santri An-Nawawi. Meski dilaksanakan secara terbatas, wali santri dan masyarakat umum dapat menyaksikannya secara virtual melalui akun YouTube Annawawi Berjan.***
Sumber: NU Online
Editor: Ahmad Fahir