Warga Lokal Tamansari – Cijeruk Penggarap Hutan Penyangga TNGHS Diusir Pemodal Besar
Oleh RM Budi Muliawan
Petani Penggarap Sekitar Hutan Gunung Salak, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor
Daerah penyangga berperan penting bagi kawasan pelestarian alam dengan memadukan kepentingan konservasi dan perekonomian masyarakat. Fungsi daerah penyangga dapat diwujudkan secara optimal dengan pengelolaan pemanfaatan jasa lingkungan, nilai ekonomi dan konservasi lahan masyarakat. Kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan suatu kawasan yang memiliki fungsi perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari bagi masyarakat sebagai penyangga ekosistem hutan yang didalamnya terdapat nilai historis masyarakat setempat dan berbagai jenis flora fauna yang khas di wilayah Jawa Barat.
TNGHS memiliki peranan, fungsi dan manfaat yang sangat penting bagi kehidupan manusia utamanya untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kelestarian TNGHS sangat didukung oleh daerah penyangga yang ada di sekitarnya. Daerah penyangga dapat didefinisikan sebagai wilayah yang berada di luar kawasan konservasi. Fungsi daerah penyangga adalah pendukung kawasan konservasi dalam mempertahankan kelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati.
Kawasan konservasi ini berada timur laut TNGS, yang masuk wilayah administrasi Kabupaten Bogor, yakni terdapat di Desa Taman Sari dan Desa Sukamantri, Kecamatan Taman Sari ,dan Desa Sukaharja, Kecamatan Cijeruk. Pada tahun 2007 wilayah tersebut ditetapkan sebagai daerah penyangga. Dengan demikian daerah penyangga mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu untuk mengurangi tekanan penduduk ke dalam kawasan pelestarian dan suaka alam, memberikan kegiatan ekonomi masyarakat dan merupakan kawasan yang memungnkinkan adanya interaksi manfaat secara berkelanjutan bagi masyarakat dengan kawasan konservasi.
Menurut Undang – undang No 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, kawasan pelestarian alam adalah kawasan yang mempunyai fungsi penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Daerah penyangga merupakan kawasan penting sebagai pendukung kawasan konservasi dan merupakan daerah yang sangat potensial untuk dikelola. Dalam menetapkan daerah penyangga kawasan konservasi harus didasarkan pada tiga aspek yang terkait yaitu aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat, sehingga daerah penyangga memiliki nilai ekonomi yang mampu meningkatkan taraf hidup dan persepsi masyarakat dalam menjaga keutuhan kawasan konservasi.
Oleh karena itu pembangunan daerah penyangga dan ekonomi masyarakat mempunyai hubungan timbal balik yang menguntungkan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan pastisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan pembangunan kawasan penyangga. Pengelolaan daerah penyangga adalah perpaduan keserasian pengelolaan lahan hutan dan pertanian sesuai dengan kondisi fisik kawasan untuk mendapatkan hasil optimal guna menunjang sistem perekonomian masyarakat lokal.
Persoalan yang terjadi adalah dari ketiga desa yang berfungsi sebagai daerah penyangga harus terusir oleh kepentingan perusahan PT Rejosari Bumi yang berada di daerah tersebut. Perusahaan tersebut sudah lama mengelola lahan mulai sejak tahun 1970 dan mulai terlantar di tahun 1976 hingga 2017. Disisi lain desakan ekonomi masyarakat di daerah penyangga semakin meningkat, ketika Gunung Salak sudah resmi ditetapkan sebagai kawasan konservasi pada tahun 2003 masyarakat mulai sempit ruang gerak dalam memanfaatkan akses pemanfaatan potensi sumberdaya alam Gunung Salak.
Pada tahun 2017 warga memberanikan untuk memanfaatkan lahan terlantar yang puluhan tahun tidak termanfaatkan secara optimal yang hanya dijadikan lahan belantara yang saat itu sudah menjadi daerah penyangga. Ruang kebijakan semakin mempersempit masyarakat kecil dalam mencari perekonomian untuk kebutuhan sehari hari. Kebijakan HGU dan kawasan konservasi memberikan dampak yang nyata terhadap masyarakat dalam mencari solusi ekonomi. Sisi lain negara memberikan ruang atau lahan yang luas bagi para pemodal melalui HGU dan kebijakan kawasan perlindungan melalui Taman Nasional, di sisi lain warga tidak memiliki lahan sedikitpun untuk dijadikan lahan potensial untuk perekonomian warga.
Kawasan konservasi hadir harusnya sebagai jawaban akan keadaan sosial ekonomi untuk peningkatan masyarakat dalam mencari ekonomi, lahan HGU harusnya juga bisa dimanfaatkan secara optimal untuk masyarakat dalam menata sistem sosial ekonomi dan budaya setempat. Harus ada tata ulang dalam kajian penentuan ruang kebijakan yang mampu mendorong kepentingan masyrakat kecil dalam memanfaatkan lahan. Keterlibatan masyarakat kecil sebagai faktor kunci dalam menjaga tatanan ekosistem alam dan sistem sosial.
Pada awal bulan Desember 2020 masyarakat kecil yang terdiri di dalam warga tiga desa, yaitu Taman sari, Sukamantri, dan Sukaharja diusir oleh perusahaan HGU dengan alasan lahan tersebut ingin dijadikan pondok tanfid dan area peternakan. Harapan warga dalam mencari ekonomi hilang begitu saja dengan adanya kebijakan sepihak dari pengelola lahan HGU tersebut. Yang menjadi titik persoalan adalah kehidupan ekonomi warga kedepan ditengah pandemi covid 19.
Kebijakan pengelolan HGU yang sepihak tanpa ada forum diskusi bagi warga. Lahan yang sudah telantar puluhan tahun dengan mudahnya mereka ingin usir warga di tengah pandemi saat ini. Kenapa hanya warga kecil yang diusir dari area lahan sedangkan orang kota yang sebagian besar memiliki lahan garapan tidak diusir yang dijadikan sebagai lahan bisnis, apakah ada keadilan bagi rakyat kecil di sini? Apakah kebijakan selalu berpihak bagi para kaum pemodal? Apakah masyarakat kecil hanya dijadikan objek dalam pembangunan wilayah?
Mohon kesadaran semua pihak dalam melihat persoalan ini, masyarakat petani kecil adalah masyarakat yang punya peradaban dalam menata tatanan sosial dan alam, mereka memiliki kearifan dalam melihat sisi makna kehidupan kedepan dengan selalu menjaga hubungan baik dengan alam dan sosialnya yang terwujud dalam aktifitas penghormatan dan penghargaan bagi para Arwah-arwah pendahulu mereka yang selalu mengajarkan etika dalam berkehidupan.
Penetapan daerah penyangga harusnya bisa menjadi solusi dalam semua persoalan ini, yang mampu hadir sebagai solusi fungsi sosial ekonomi, pelestarian dan pemanfaatan keragaman hayati, dan fungsi konservasi alam. Semua solusi itu harus di sinergikan dalam pelibatan penuh masyarakat sebagai aktor penjaga alam kedepan bukan dijadikan objek bagi oknum yang memiliki kepentingan dan haus kekayaan yang berada dalam jaringan para pemodal untuk menguasai sumberdaya lahan dan peradaban masyarakat kedepan.
Peningkatan peran serta masyarakat sangat dibutuhkan bukan peran serta perusahaan yang telah lama menelantrakan lahan menjadi lahan tidak produktif puluhan tahun dan bertolak belakang dari amanah para pejuang di dalam memerdekakan tanah air ini. Alam, masyarakat sosial, dan arwah para pejuang pendahulu adalah modal besar dalam menciptakan rangkaian sistem kesimbangan alam kedepan yang bermartabat, berbudi luhur, dan berkarakter dengan mentalitas potensi SDM yang siap menghadapi tantangan masa depan tanah air Indonesia.
Kepedulian masyarakat sampai saat ini dalam menjaga tatanan alam jangan sampai dimonopoli oknum perusahaan yang ingin mengusir 80 warga/KK untuk kepentingan individual. Masyarakat petani kecil adalah warga desa yang selalu mengedepankan rahmat dan harmoni dengan alam daripada keserakahan. Semoga semua pihak mampu melihat persoalan ini dengan serius.
Belanda sudah hilang tapi sistem ilmu penjajah masih tersebar di kalangan para pemodal. Semoga Allah SWT meridhoi perjuangan para petani kecil ini dalam memperoleh ruang keadilan. Indonesia adalah negara yang besar dan memiliki martabat kehormatan keluhuran budi yang terwujud dalam kearifan lokal yang beragam, negara yang mengandung sumberdaya alam yang melimpah, semua sumberdaya alam potensial ini jangan sampai murah di hadapan para pemodal yang haus kekayaan. ***