Syaikh Mukhtar Bogor, Satu dari Tujuh Ulama Besar Dunia Asal Nusantara
Indonesia memiliki banyak ulama besar yang keilmuannya sangat mumpuni, tidak hanya dikaui oleh ulama-ulama Nusantara, namun juga jadi rujukan para ulama dari berbagai belahan dunia pada eranya. Keberadaan para ulama Nusantara yang mewarnai jagat intelektual dunia Islam pada kurun abad 19-20, telah mengharumkan nama bangsa. Kualitas keilmuan ulama Nusantara tidak kalah dengan ulama-ulama dari belahan bumi lainnya.
Terdapat ratusan ulama asal Nusanatara, yang produktif dalam menelurkan karya dalam berbagai disiplin keilmuan Islam, ketawadhuan dan kesholehan serta kiprah perjuangannya dalam mencerdaskan umat diakui berbagai bangsa lain di dunia, mulai dari Malaysia, Fhilipina, India, Saudi, Turki hingga Mesir.
Syaikh Mukhtar, Menjaga Kehormatan Nusantara dari Tanah Suci
Muhammad Mukhtar lahir di Bogor, Jawa Barat, pada 14 Sya’ban 1278 (14 Februari 1862). Nama lengkapnya Muhammad Mukhtar bin Atharid Al-Bughuri. Pendidikan agamanya didapat langsung dari orang tuanya. Semasa muda, ia telah mampu menghafal Al-Qur’an.
Syaikh Mukhtar merupakan ningrat Sunda Pajajaran. Ayahnya Kiai Attharid adalah cicit Dalem Wiratanudatar Cikundul, Eyang Prabu Arya Jaya Sasana. Pada era Belanda, Pemerintahan Bogor dipimpin secara turun temurun oleh Dalem/Bupati keturunan Cikundul.
Syaikh Mukhtar Bogor menuntut ilmu dari ayahnya, Kiai Attharid alias Raden Aria Natanegara. Selanjutnya, ia hijrah ke Betawi (Jakarta) untuk menimba ilmu kepada Sayyid Utsman. Kemudian ia mengembara ke Mekah. Di Tanah Suci, ia belajar belajar kepada ulama terkemuka, Syaikh Ahmad Al-Fathani.
Selain itu, ia juga mendapatkan kesempatan mengajar di Masjidil Haram selama 28 tahun, dari tahun 1902 hingga 1930 M. Setiap kesempatan mengajar, ia selalu dikelilingi sekitar 400-an murid, baik beraal dari Nusantara maupun dari belahan dunia lainnya.
Syaikh Mukhtar Bogor adalah seorang syaikh, mudarris atau guru besar di Masjidil Haram Makkah, juga seorang musnid (ahli sanad) dan muhaddits (ahli hadits).
Syaikh Yasin Al-Fadani Al-Makki menyebutkan, bahwa ada sekitar 130 ulama pakar hadits riwayah yang berasal dari Nusantara dan dari mereka, ada tujuh ulama yang memiliki periwayatan paling banyak dan semua berasal dari Indonesia dan Syaikh Mukhtar Bogor adalah termasuk dari tujuh ulama itu
Meskipun tinggal di Mekkah dan menjadi guru besar di Masjidil Haram hingga puluhan tahun lamanya, namun Syaikh Mukhtar sangat mencintai tanah kelahirannya. Hal itu ia tunjukkan dengan menerbitkan kitab As-Shawaiq al-Muhriqah li al-Awham al-Kadzibah fi Bayan Hal al-Balut wa ar-Raddu ala Man Harramah atau disebut Kitab Belut itu.
Kitab ini wujud kecintaan Syaikh Mukhtar pada tanah air. Dengan kitab ini, ia membela kehormatan Nusantara di tanah Hijaz dan dunia, karena pada saat itu banyak ulama dunia dari luar Nusantara yang menilai belut sebagai hewan yang haram. Kitab yang ia susun menjadi yang paling fenomenal, karena hingga kini menjadi atu-satunya kitab yang secara khuusus membahas hukum makan belut.
Enam Ulama Besar Nusantara Lainnya
Selain Syaikh Mukhtar Bogor, dikutip dari berbagai sumber, setidaknya ada enam ulama besar dunia Nusantara yang namanya harum di dunia. Pertama, Syaikh Nawawi Al-Bantani. Ia kerap disebut sebagai “Imam Nawawi Kedua”. Gelar ini diberikan oleh Syaikh Wan Ahmad bin Muhammad Zain Al-Fathani. Lahir pada penghujung abad ke-18 di Banten. Ia memiliki nama lengkap Muhammad Nawawi bin Umar ibnu Arabi bin Ali Al-Bantani. Setiap kali mengajar di Masjidil Haram, ia selalu dikelilingi sekitar 200-an orang. Pernah diundang ke Universitas Al-Azhar, Mesir, untuk memberi ceramah atau fatwa-fatwa pada beberapa perkara khusus.
Kedua, Syaikh Sayyid Utsman Betawi. Nama lengkapnya Sayyid Utsman bin Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya Al-Alawi, namun lebih dikenal dengan sebutan Habib Utsman Mufti Betawi. Lahir di Pekojan, Jakarta, 17 Rabiul Awwal 1238 (2 Desember 1822). Habib Utsman adalah sahabat ulama besar Sayyid Yusuf An-Nabhani, mufti di Beirut. Selama di Mekah, Habib Utsman menimba ilmu pada Syeikh Ahmad Ad-Dimyathi, Sayyid Muhammad bin Husein Al-Habsyi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syeikh Rahmatullah. Semasa hidupnya, Mufti Betawi berhasil menulis karya sebanyak 109 buah.
Ketiga, Syaikh Muhammad Khalil Al-Maduri (Syaichona Kholil Bangkalan). Ia lahir pada 11 Jamadil Akhir 1235 (27 Januari 1820) di Bangkalan, Madura. Al-Maduri berasal dari keluarga ulama. Ia sempat berguru kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Al-Maduri semasa mudanya berhasil menghafal Al-Qur’an (hafizh). Tahun 1859 Al-Maduri menuju ke Mekah. Ia bersahabat dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani. Sekembalinya ke tanah air, Al-Maduri mendirikan pondok pesantren di daerah Cengkebuan, 1 kilometer dari tanah kelahirannya. Muhammad Khalil Al-Maduri wafat pada usia 106 tahun (29 Ramadan 1341 atau 14 Mei 1923). Semasa hidup telah membina kader-kader ulama untuk generasi setelahnya, seperti KH Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang) dan KH Bisri Mustofa, pendiri Pondok Pesantren Rembang.
Keempat, Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Namanya tak hanya dikenal oleh masyarkaat Nusantara, tapi juga kaum muslimin di Filipina, Turki, Arab Saudi, Mesir, dan India. Lahir di Banjar tanggal 15 Safar 1122 (17 Mei 1710). Selama hampir 35 tahun berguru pada ulama-ulama terkenal di Mekah dan Madinah seperti Syeikh Ataillah bin Ahmad Al-Misriy, Syaikh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdiy, Syaikh Ahmad bin Abd Mun’im Syeikh, dan Muhammad bin Abd Karim Al-Qadiri. Selepas berguru di Mekah dan Madinah, Al-Banjari kembali ke tanah air. Al-Banjari berhasil menulis berpuluh-puluh karya. Salah satu yang termasyhur adalah kitab Sabilul Muhtadin, yang kerap menjadi referensi para penulis buku fikih. Pada 6 Syawal 1227 (3 Oktober 1812), Al-Banjari wafat.
Kelima, Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli Al-Minangkabawi. Ia seangkatan dengan KH Hasyim Asyhari, pendiri Nahdlatul Ulama. Lahir di Candan, Sumatera Barat, pada tahun 1871. ia menuntut ilmu agama di Mekah dan antara lain berguru pada ulama Minang yang tinggal di Tanah Suci, Syaikh Ahmad Khatib Abdul Lathif Al-Minangkabawi. Sekembali ke tanah air, ia menyebarkan ajaran Islam dengan sistem lesehan (duduk bersila). Baru pada tahun 1928, Al-Minangkabawi menggunakan bangku. Pada tahun 1928 juga, Al-Minangkabawi bersama Syaikh Abbas Ladang Lawas dan Syaikh Muhammad Jamil Jaho menggagas berdirinya organisasi yang sempat menjadi partai politik, yaitu Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Keenam, Syaikh Abdul Hamid Asahan. Nama lengkapnya Syaikh Abdul Hamid bin Mahmud. Lahir di Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara, tahun 1298 H (1880). Ia belajar kepada ulama termasyhur di Asahan bernama Syaikh Muhammad Isa, mufti Kerajaan Asahan. Abdul Hamid ke Mekkah. Proses belajar ini sempat terganggu karena meletusnya Perang Dunia I (1914 – 1918). Ia terpaksa pulang ke Tanjung Balai Asahan. Ia mendirikan Madrasah ‘Ulumil ‘Arabiyah. Seiring berjalannya waktu, madrasah ini berkembang pesat dan menjadi termasyhur di Sumatera Utara. Abdul Hamid Asahan melengkapi hidupnya dengan menulis berpuluh-puluh buku. Ia wafat pada 10 Rabiul Akhir 1370 (18 Februari 1951).***
Ahmad Fahir