Melongok Makam Pahlawan Nasional KH Idham Chalid di Cisarua
Makam KH Idham Chalid terletak di kompleks Pondok Pesantren Yatim Piatu Darul Qur’an, Jalan Raya Puncak, Cisarua. Sejak 2010, jasad ulama yang dikenal dengan julukan “Politisi Air Mengalir” terbujur kaku dalam peristirahatan abadi menghadap sang khalik.
Keberadaan makam tokoh nasional KH Idham Chalid di Cisarua, kian memperbanyak jumlah makam keramat yang tersebar di seantero Kabupaten dan Kota Bogor. Diperkirakan ada ratusan makam keramat lintas zaman yang tersebar di tanah legenda Bogor.
Bogor, Serambi Nusantara – Bogor merupakan daerah unik, khas dan penuh legenda. Setiap jengkal tanah Bogor memiliki makam keramat, situs bersejarah atau jejak mahakarya eksotisme peninggalan para leluhur Nusantara. Di Kelurahan Cisarua Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, misalnya, terdapat makam ulama besar Indonesia, tokoh besar pada era Orde Lama dan Orde Baru, pahlawan nasional dari Nahdlatul Ulama, Dr KH Idham Chalid.
KH Idham Chalid sendiri sejak masih hidup sudah menyampaikan keinginannya pada keluarga, jika meninggal dunia agar dimakamkan di tengah pesantren yang berisi anak yatim penghapal Al-Qur’an. Dan sejak lama ia mendirikan pesantren dimaksud di kawasan Cisarua.
Saat meninggal dunia pada Minggu (11/7/2010), pihak keluarga tidak ragu untuk mengebumikan KH Idham Chalid di Cisarua, sesuai wasiatnya. Padahal saat itu, pemerintah meminta agar jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Almarhum memiliki hak dimakamkan di Kalibata karena semasa hidupnya mendapat tanda jasa tinggi atas dedikasi besarnya membela negara.
Putra KH Idham Chalid, Gus Taufiq Rahman Chalid, kepada Serambi Nusantara di Depok, baru-baru ini mengatakan, ayahnya tokoh yang paling cepat mendapatkan gelar pahlawan nasional dari pemerintah. Hanya butuh waktu setahun lebih, nama KH Idham Chalid sudah dikukuhkan sebagai pahlawan nasional.
Perjalanan Hidup KH Idham Chalid
Kiai Idham lahir pada 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, tenggara Kalimantan Selatan, adalah anak sulung lima bersaudara dari H Muhammad Chalid. Saat usia enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai, kampung halaman leluhur ayahnya.
Idham tercatat sebagai tokoh termuda yang pernah memimpin NU. Idham dipilih sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tahun 1956. Saat itu usia Idham baru 34 tahun. Prestasi yang fenomenal baik pada masa tersebut maupun masa kini.
Karir Idham di ormas yang didirikan ulama dan memiliki akar kuat baik di pedesaan maupun di perkotaan tersebut terbilang sangat cemerlang. Semasa kepemimpinan Idham di PBNU tidak pernah terjadi gejolak internal. Kepemimpinannya di NU paling lama yaitu 28 tahun.
Idham merupakan sosok pemimpin yang terlahir alami dari bawah. Ia tidak mengandalkan faktor dinasti maupun kekuatan materi, dua faktor terpenting dalam berpolitik, dalam merintis karirnya yang panjang dan cemerlang. Keluasan pergaulan, kemahiran retorika serta kepiawan dalam melobi mengantarkan Idham sebagai tokoh besar pemimpin nasional
Beliau adalah sosok pemimpin besar yang lahir dari bawah. Kiprah dan peran Idham Chalid tergolong istimewa. Ia bukanlah sosok yang berasal dari warga kota besar. Ia hanyalah putra kampung yang merintis karier dari tingkat yang paling bawah, sebagai guru agama di kampungnya. Tapi kegigihannya dalam berjuang, dan kesungguhannya untuk belajar dan menempa pribadi, telah mengantar dirinya ke puncak kepemimpinan nasional yang disegani.
Kalangan pengamat politik Indonesia, banyak mencatat bahwa Idham Chalid merupakan salah seorang dari sedikit politisi Indonesia yang mampu bertahan pada segala cuaca.
Ia pernah menjadi Ketua Partai Masyumi Amuntai, Kalimantan Selatan, dan dalam Pemilu 1955 berkampanye untuk Partai NU. Ia pernah pula menjadi Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Ali-Roem-Idham, dalam usia yang masih sangat belia, 34 tahun..
Di NU, ia dipercaya warga nahdliyyin untuk memimpin PBNU di tengah cuaca politik yang sulit, dengan memberinya kepercayaan menjabat sebagai Ketua Umum Tanfidziah PBNU selama 28 tahun (1956-1984).
Di samping berada di puncak kekuasaan pimpinan NU, ia juga dipercaya menjadi Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI), 1956 – 1957. Presiden Soeharto memberikankepercayaan selaku Menteri Kesejahteraan Rakyat (1967 – 1970), Menteri Sosial Ad Interim (1970 – 1971),Ketua MPR/DPR RI (1971 – 1977) dan Ketua DPA (1977 -1983).
Meskipun berbeda pandangan politik, Hasyim mengatakan Kiai Idham tetap menjalin silaturrahmi dan ukhuwah dengan Buya Hamka.Perbedaan partai ini tidak mengurangi silaturrahmi dengan yang lain sehingga Pak Idham dengan Buya Hamka. Ketidakharmonisan dalam bidang politik tidak harus membuat pemimpin tidak harmonis dalam ukhuwwah. ***
Ahmad Fahir